Rabu, 07 Januari 2009

Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?

SEBUAH buku berjudul Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati? diluncurkan hari Minggu (28/10). Penulis buku, Willem Oltmans, adalah juga penulis buku Bung Karno Sahabatku yang diluncurkan pada bulan Juni tahun ini juga.
Dalam buku tersebut, Oltmans, wartawan asal Belanda yang sekitar sepuluh tahun menjadi sahabat dan teman bertukar pikiran Bung Karno di Istana Merdeka, mengungkapkan, rezim Orde Baru di bawah Soeharto selama puluhan tahun meyakinkan rakyatnya bahwa PKI berada di balik kudeta Bung Karno dan pembunuhan para jenderal.
Menurut penuturan penulis buku itu fakta yang sebenarnya adalah dinas intelijen CIA yang memberikan dukungan kepada militer untuk menjatuhkan lalu mengambil alih kekuasaan Soekarno.
Bahkan dalam buku itu disebutkan bukan saja keterlibatan CIA dalam kudeta Soekarno, tapi juga penggulingan beberapa pemimpin dunia seperti Norodom Sihanouk, Ali Bhutto, Fidel Castro, Patrick Lumumba, Allende maupun Indira Gandhi.
Penulisan buku itu tampaknya juga terkait dengan beredarnya dokumen mengenai keterlibatan CIA dalam kejatuhan Soekarno yang muncul hanya beberapa saat setelah Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi presiden RI, dan kemudian ditarik kembali dari peredaran.
Kita berharap, buku yang ditulis Oltmans ini dapat menjadi salah satu sumber guna meluruskan sejarah sekitar peristiwa tahun 1965 yang sampai saat ini belum tuntas dan masih menjadi misteri. Karena, misalnya saja, selama ini fakta sejarah yang dicekokkan kepada generasi anak-anak yang hidup setelah tahun 1970an adalah bahwa para jenderal TNI AD yang tewas di Lubang Buaya adalah akibat ulah PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sementara dalam bukunya Oltmans jelas menunjuk CIA terlibat dalam serangkaian pembunuhan jenderal dengan melibatkan beberapa kalangan di pihak militer. Mana yang benar? Sekali lagi kita belum dapat menarik kesimpulannya karena fakta yang ada seputar peristiwa ini begitu banyaknya. Fakta yang sudah terjadi adalah sebagian besar masyarakat negara ini sudah kadung menuduh dan memojokkan sang founding father sebagai orang yang pantas dipersalahkan.
Ada baiknya buku-buku seperti ini, atau pun biografi dan catatan dari orang-orang yang pernah terlibat langsung dalam peristiwa itu, makin banyak bermunculan, apalagi di saat para pelaku sejarah itu banyak yang sudah meninggal dunia dan hanya beberapa saja yang masih hidup. Sehingga semakin banyak fakta yang muncul akan semakin memudahkan para ilmuwan sejarah dan politik merangkaikan secara benar peristiwa itu.
Kita berharap, para pelaku sejarah yang masih tersisa itu mau secara jujur mengungkapkan fakta sesungguhnya yang diketahuinya pada waktu itu. Meski mungkin tidak menyenangkan atau ada yang merasa terserang, kebenaran sejarah itulah yang dibutuhkan oleh generasi mendatang, mengingat begitu banyaknya pemalsuan sejarah selama ini.
Pengalaman Oltmans sebagai wartawan yang telah tunggalanggang dalam tiga zaman merupakan tanda bahwa pengetahuan dia tentang mantan Presiden Soekarno dapat diandalkan sebagai bagian dari upaya kita untuk meluruskan sejarah.
Kita semua tahu, fakta sejarah dapat dipergunakan oleh siapa saja untuk menunjang kelanggengan kekuasaan. Ini bukan semata monopoli sistem kekuasaan kita yang selama ini menggunakan fakta sejarah sebagai alat pendukung kekuasaan. Hampir semua pemimpin besar berhaluan fasis dan feodalistis menggunakan cara-cara serupa.
Soekarno, menurut Oltmans, adalah seorang nasionalis yang didasari rasa humanisyang tinggi. Contoh: ketika Belanda gagal mempertahankan Irian Barat dari pangkuan Belanda, para pemimpin negeri itu mengucilkan Presiden Soekarno.
Ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Italia, Oltmans yang ketika itu bertugas sebagai koresponden Telegraaf untuk liputan di Italia, mendapat perintah dari pemimpin redaksi untuk tak boleh sedikit pun mewawancarai Presiden Soekarno. Oltmans pikir, pemimpin redaksinya masih terpengaruh mental orang Belanda yang sangat jelek: bad losers (orang kalah yang jelek).
Pertemuan itu merupakan awal yang baik bagi Oltmans untuk mengenal Soekarno secara lebih jauh lagi. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, Oltmans pun tahu bahwa orang-orang sekeliling Soekarno adalah orang-orang bodoh dan manipulator.
Contoh: konfrontasi dengan Malaysia bukan merupakan ide asli dari Presiden Soekarno. Ide itu datang dari orang-orang sekitar Soekarno yang memiliki kepentingan tersendiri dengan Malaysia.
Soekarno, kata Olrmans, memiliki segalanya sehingga seluruh sosok dirinya merupakan personifikasi dari orang masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Sayangnya, dalam tiga dasawarsa terakhir, pengetahuan orang Indonesia tentang Soekarno masih sangat minim karena mendapat berbagai tekanan dari pemerintah untuk tak perlu mempelajari Soekarno secara mendalam. Penulisan buku sejarah tentang Soekarno sangat sedikit, dan kalau pun ada, sebarannya sangat terbatas.
Sayangnya, karya-karya sejarah seperti ini sebarannya biasanya tidak terlalu banyak dan kurang dipublikasikan sehingga tetap tidak dapat mencapai banyak lapisan dalam masyarakat dan efektivitasnya mungkin kurang.
Kemudian, pengungkapannya sering kurang utuh. Namun apa pun kelemahannya, kita mendorong penulisan-penulisan fakta sejarah oleh mereka yang memang kredibel dan terlibat dapat semakin sering dilakukan. ***

1 komentar:

  1. sebenarnya banyak saksi sejarah tentang kejatuhan sukarno, suhartolah yg lebih tahu ,buktinya agen CIA berada di filipina setelah tragedi 30sept....., dan suharto menemui nya.....,

    BalasHapus